TUGAS TERSTRUKTUR
MATA KULIAH KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
TELAAH JURNAL TENAGA KERJA
ANAK-ANAK
“EFEKTIVITAS
KEBIJAKAN PERLINDUNGAN PEKERJA ANAK (CHILD
LABOUR) DENGAN
FOKUS ANAK JALANAN DI SURABAYA”
Disusun oleh :
MAIRINA
YULISTIANI I1A015097
Kelas : A
KEMENTERIAN
RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
FAKULTAS
ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN
KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2016
IDENTITAS
JURNAL
A.
Judul jurnal
-
Efektifitas
Kebijakan Perlindungan Pekerja Anak (Child
Labour) Dengan Fokus Anak Jalanan Di Surabaya
B.
Pengarang
-
Sulikah Asmorowati
C.
Edisi (vol, halaman, tanggal, tahun terbit)
-
vol. 7, hal. 31-44, tahun 2008
LATAR
BELAKANG
Hingga saat ini isu tentang
pekerja anak belum menjadi prioritas kebijakan pemerintah Indonesia. Hal ini
terlihat dari belum adanya struktur regulasi yang komprehensif dan solutif,
disertai struktur pendukung dalam tataran implementasinya. Sementara itu, dalam
sejarah manusia selalu ada anak yang bekerja (Hindman, 2002: 6). Pekerja anak
berkontribusi besar dalam perekonomian Indonesia baik di sektor formal maupun
informal dan bermacam lapangan pekerjaan. Di sektor formal mereka terlibat
dalam pertanian, perkebunan, perikanan, pabrik/industri lain atau sebagai
pembantu rumah tangga. Di sektor informal mereka menjadi pemulung, penyemir
sepatu, pengamen, pengemis dan lain sejenisnya. Sayangnya, beberapa anak bahkan
berada dalam kegiatan anti sosial seperti prostitusi, pencopet atau pengedar
obat-obatan terlarang (Parker, 2002). Pekerja anak disektor informal kemudian
dikenal sebagai anak jalanan, yang ironisnya mereka juga sering dianggap
sebagai bagian dari masyarakat yang terlupakan dengan berbagai stigma yang
melekat, yang dianggap kotor, miskin dan pembawa masalah sehingga keberadaan
mereka dianggap sebagai pengganggu bagi ketertiban masyarakat.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi
beberapa konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berkaitan dengan anak,
ratifikasi-ratifikasi ini dalam kenyataannya tidak berarti banyak bagi kelangsungan
perlindungan pekerja anak di Indonesia. Beberapa konvensi yang telah diratifikasi
adalah konvensi hak anak (the convention on the rights of the child)
yaitu konvensi yang melindungi hak-hak esensial anak (disahkan pada tahun 1989)
dan telah diratifikasi pemerintah Indonesia setahun setelahnya, dengan
keputusan presiden No. 36/1990 tanggal 25 Agustus 1990 (UNICEF, 2003).
Menariknya, Indonesia merupakan salah satu negara peratifikasi awal konvensi ini
(ILO 1999; Putranto 2000: 90). Selain itu pemerintah juga
telah meratifikasi beberapa konvensi utama dari
International Labour Organisation (ILO), seperti Konvensi No 138 tahun 1973 yang diratifikasi pada Mei 1999. Konvensi ini mengatur tentang umur minimal untuk mulai masuk dunia kerja (minimum age for admission to employment) yaitu antara 13-15 tahun. Serta Konvensi ILO No 182 tahun 1999 tentang bentuk terburuk dari pekerja anak (The worst forms of child labour)
yang diratifikasi pada 28 Maret 2000. Sayangnya, konvensi ini tetap menjadi lembaran-lembaran ideal dengan konsekuensi praktis yang perlu ditanyakan, termasuk di negara-negara yang telah meratifikasinya, seperti di Indonesia.
Hak-hak asasi anak termasuk
pekerja anak, anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak
asasi manusia umumnya, seperti tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi
hak Anak. Dari segi kebijakan dan perlindungan
hak anak, pemerintah telah menunjukkan komitmen dan
itikad baiknya dengan ditetapkannya Undang-Undang (UU) No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak pada tanggal 22 Oktober 2002. Selain itu, pemerintah
juga telah mengeluarkan undang-undang ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003
(dikeluarkan 25 Maret 2003), yang mengatur lebih terperinci masalah pekerja
anak, yaitu dalam pasal 68-75 yang menjadi landasan bagi strategi perlindungan
tenaga kerja anak di Indonesia. Beberapa hal yang diatur UU ini diantaranya
syarat adanya ijin orang tua bagi seorang anak untuk bekerja, waktu kerja
maksimum bagi anak untuk bekerja yaitu 3 jam per hari serta penentuan upah yang
sesuai dengan ketentuan yang berlaku (http.//www.dprin.-go.id/regulasi/2003-/03/UU_13_03.pdf).
Efektivitas kebijakan berkaitan
dengan anak, khususnya bagi pekerja anak di sektor informal (anak jalanan)
dalam implementasinya masih perlu dipertanyakan. Terutama di Indonesia, anak-anak
menjadi sangat terancam ketika menjadi anak jalanan. Tidak jarang, mereka
menjadi korban baik dari aparat kepolisian yang bertindak kasar, senior atau
teman sebaya mereka, menjadi obyek intimidasi, penyelewengan seksual, dan
berbagai aktivitas brutal lain, seperti perampasan dan perampokan (Jette,
2002). Pada tahun 1998, Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat
Statistik Republik Indonesia menunjukkan bahwa anak jalanan secara nasional
berjumlah sekitar 2,8 juta anak. Angka ini naik sekitar 5,4% pada tahun 2000,
mencapai sekitar 3,1 juta anak. Angka-angka ini menunjukkan kualitas hidup dan
masa depan anak yang memperihatinkan, sementara mereka adalah aset, investasi
SDM sekaligus tumpuan masa depan bangsa. Kondisi ini dapat mengancam
kelangsungan bangsa kelak, karena sebagian dari anak bangsa tersebut mungkin
mengalami lost generation (generasi yang hilang). Karena itulah penelitian
ini memfokuskan pada bagaimana efektivitas kebijakan perlindungan pekerja anak,
khususnya bagi anak jalanan di kota Surabaya.
Tujuan penelitian ini adalah
untuk menjawab permasalahan tentang bagaimana efektivitas pelaksanaan kebijakan
perlindungan pekerja anak, khususnya berkenaan dengan anak jalanan di Kota
Surabaya. Secara khusus penelitian ini ingin mengetahui kebijakan perlindungan
anak jalanan yang diimplementasikan di Kota Surabaya serta mengetahui bagaimana
efektivitas implementasi kebijakan tersebut, termasuk mengidentifikasi faktor
pendukung maupun penghambatnya. Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan
informasi dan alternatif solutif bagi perumus kebijakan untuk melakukan
upaya-upaya perbaikan atas permasalahan-permasalahan yang ada, yaitu berguna
untuk formulasi kebijakan berikutnya yang diarahkan pada peningkatan perlindungan
anak jalanan di Kota Surabaya.
METODE
PENELITIAN
Variabel yang digunakan dalam
penelitian ini bersifat deskriptif, dimana peneliti berupaya menggambarkan
bagaimana efektivitas implementasi kebijakan perlindungan
pekerja anak, khususnya berkaitan dengan anak jalanan di
Surabaya. Populasi penelitian ini adalah institusi pelaksana kebijakan
perlindungan anak jalanan di Kota Surabaya. Informan penelitian ditarik secara the
Systematic Selection Procedur, yaitu dengan menggunakan ‘purposive
sampling’, yakni staf pada institusi terkait dengan anak jalanan yang dianggap
memahami dan terkait dengan permasalahan. Informan dalam penelitian ini adalah
staf pada dinas sosial, dinas kesehatan dan dinas pendidikan, karena dinas-dinas
inilah yang mempunyai program penanganan anak jalanan. Untuk menyeimbangkan
bias yang mungkin ada pada informasi dari pelaksana kebijakan, informan juga
diambil dari beberapa staf pada LPA Jatim. Data dikumpulkan lewat wawancara
dengan pedoman wawancara bersifat terbuka serta penggunaan teknik dokumentasi
untuk memperoleh data sekunder yang relevan. Data dianalisis secara kualitatif,
dan disajikan baik dalam bentuk tabel frekuensi maupun uraian-uraian kualitatif
untuk memperoleh gambaran detail untuk kemudian ditarik kesimpulan.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Fenomena merebaknya anak
jalanan di Indonesia termasuk di Surabaya merupakan persoalan sosial yang
multidimensional. Hidup di jalanan memang bukan merupakan pilihan yang
menyenangkan, karena anak berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas,
dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak,
keluarga, masyarakat dan negara. Sayangnya, perhatian terhadap nasib anak
jalanan tampak belum begitu besar dan solutif, meski telah ada seperangkat
peraturan yang menjadi kerangka upaya perlindungan hak-hak anak termasuk anak
jalanan, yaitu UU No. 6/1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, UU
No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, dan UU No. 23/ 2002 tentang Perlindungan
Anak. Penelitian ini menemukan bahwa dalam implementasinya, kebijakan
perlindungan anak jalanan di Surabaya masih belum efektif.
Figur Anak Jalanan di Kota Surabaya
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun terdapat peningkatan jumlah anak jalanan
di Surabaya, Hal ini terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah Anak Jalanan Di Surabaya Tahun 2001-2004
Tahun
|
Jumlah Anak Jalanan
|
2001
|
1.442
|
2002
|
1.852
|
2003
|
2.310
|
2004
|
2.417
|
Sumber:
Dinas Sosial Kota Surabaya
Tren kenaikan anak jalanan di Surabaya
ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas penanganan anak jalanan di
Surabaya. Data dari Dinas sosial mencatat bahwa pada tahun 2003 dari 2.310 tersebut
1.797 anak adalah laki-laki dan 541 anak adalah perempuan. Dari segi umur, umur
paling dominan seorang anak turun ke jalan
dalah 12-16 tahun (1.511 anak atau 65,5%), sementara yang sangat memprihatinkan
adalah cukup signifikannya anak jalanan berusia 0-5 tahun (84 anak atau 3,6%),
seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Anak Jalanan Di Surabaya Berdasarkan Umur Tahun
2003
Umur
|
Jumlah
|
Presentase
|
0-5 tahun
|
84
|
3,6
|
12-16 tahun
|
1.511
|
65,5
|
16-18 tahun
|
715
|
30,9
|
Sumber: Pemetaan
dan survei sosial anak jalanan 2003
Adapun penyebaran anak jalanan
terbesar ditemukan di perempatan jalan (1.496 anak atau 64,8%); terminal
sebanyak 377 anak (16,3%); stasiun sebanyak 164 anak (7,1%) serta di makam
sebanyak 162 anak (7%). Sebaran ini, terbesar berada di tujuh kecamatan, yaitu:
Tabel 3. Sebaran Kecamatan Dengan Anak Jalanan Tertinggi
Kecamatan
|
Jumlah
|
Presentase
|
Wonokromo
|
260
|
11,3
|
Tegalsari
|
246
|
10,6
|
Sawahan
|
201
|
8,7
|
Gubeng
|
169
|
7,3
|
Krembangan
|
149
|
6,5
|
Tenggilis Mejoyo
|
126
|
5,5
|
Simokerto
|
124
|
5,4
|
Sumber: Pemetaan
dan survei sosial anak jalanan 2003
Aktivitas anak jalanan menurut pemetaan
dan survei tersebut terurai dalam Tabel 4, berikut.
Tabel 4. Jenis Aktivitas Anak Jalanan
No
|
Jenis
|
Presentase
|
1.
|
Pengamen
|
54,5
|
2.
|
Pengemis
|
7,6
|
3.
|
Bekerja lain (Pengasong,
pedagang, pemulung)
|
35,6
|
4.
|
PSK anak
|
1
|
5.
|
Berkeliaran
|
1,3
|
Sumber:
Pemetaan dan survei sosial anak jalanan 2003
Dari Tabel 4, jelas bahwa,
sebagian besar anak turun ke jalanan adalah untuk bekerja (mencari uang),
sementara sebagian kecil saja dari mereka (1,3%) yang hanya berkeliaran.
Kebijakan penanganan anak jalanan di Kota Surabaya
Hasil penelitian ini menemukan bahwa
formulasi kebijakan penanganan anak jalanan di Kota Surabaya sesuai formulasi
kerangka kebijakan nasional meliputi beberapa upaya tindakan yang ditujukan
baik untuk anak jalanan itu sendiri maupun untuk orang tua mereka. Upaya-upaya
ini mulai dari tindakan yang bersifat preventif, represif, pra rehabilitasi, pemberdayaan,
rehabilitasi sampai pembinaan lebih lanjut, seperti terurai pada Bagan 1.
A.PREVENTIF B. REPRESIF
C. PRA D.PEMBERDAYAAN
E.REHABILITASI
|
|
|
|
|
|
|
REHABILITASI
|
|
|
|
F.RESOSIALISASI (sbg tahapan
terusan) G.PEMBINAAN LANJUTAN
Bagan 1. Penanganan Anak Jalanan
Jelas bahwa upaya penanganan
anak jalanan di Kota Surabaya melibatkan beberapa instansi yaitu Dinas Sosial,
Dinas Polisi Pamong Praja (Dispol PP), Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat
(Bakesbang Linmas), Polisi Wilayah Kota Besar (Polwiltabes), Dinas Kesehatan,
Dinas Pendidikan, Rumah sakit jiwa serta Kecamatan dan Kelurahan. Dalam
implementasinya, tidak jarang institusi-institusi ini melibatkan stakeholder lain,
seperti LSM (misalnya LPA, Save the Children), termasuk rumah
singgah atau institusi pendidikan seperti Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Universitas Airlangga. Instansi-instansi ini bertanggung jawab baik sebagai
penanggung jawab utama maupun institusi pendukung untuk
melaksanakan upaya
penanganan terhadap anak jalanan.
Kebijakan penanganan anak jalanan yang ditujukan kepada
anak
Secara umum anak jalanan mempunyai
permasalahan-permasalahan dalam hal sosial, kesehatan dan pendidikan, karena
itu kebijakan penanganan anak jalanan di Kota Surabaya diarahkan untuk
menangani ketiga permasalahan tersebut.
Kebijakan berkenaan dengan permasalahan sosial: Program
Dinas Sosial beserta instansi yang terkait
Implementasi Kebijakan
penanganan anak jalanan oleh Dinas Sosial Kota Surabaya dibagi menjadi tiga
macam tindakan, yaitu: tindakan preventif, represif dan Pemberdayaan (Bagan 1).
Tindakan preventif
Tindakan preventif dilakukan
dalam bentuk sosialisasi dan penghimbauan terhadap masyarakat yang dilakukan bekerjasama
dengan instansi-instansi terkait (seperti Polwiltabes) maupun LSM. Sosialisasi
dilakukan terhadap peraturan perlindungan kesejahteraan anak, khususnya
Undang-Undang No. 6 Tahun 1974, UU No. 4 Tahun 1979 serta UU No. 23 Tahun 2002.
Dalam tataran peraturan perundangan ini, diketahui pula bahwa saat ini para LSM
yang concern dengan anak, termasuk LPA sedang menggodok draft peraturan daerah tentang perlindungan
anak (PERDA Perlindungan Anak). Namun pemerintah kota Surabaya tampaknya belum
mengagendakan perda tersebut sebagai kebijakan prioritas.
Himbauan kepada masyarakat dilakukan
secara langsung maupun melalui spanduk. Himbauan ini dilakukan bekerjasama
dengan rumah singgah & Bina Mitra Polwiltabes. Isi himbauan meliputi “Jangan
biarkan anak bekerja di jalanan”; “Di jalan tak ada masa depan bagi anak”; “Kota
yang manusiawi tak ada anak bekerja di jalanan”; “Memberi anak di jalanan
adalah bentuk eksploitasi terhadap anak”; “Anak adalah aset bangsa hindari anak
bekerja di jalanan”; “Simpati terhadap anak, tak harus memberi anak di
jalanan”; serta “Kawasan bebas anak jalanan (wawancara dengan staf Dinas
Sosial)”. Himbauan secara langsung
terutama ditujukan kepada pengendara kendaraan agar ketika berhenti di traffic
light/ perempatan jalan, tempat anak jalanan sering beroperasi, mereka tidak memberikan
sesuatu, khususnya uang bagi anak jalanan, karena dengan memberikan sesuatu berarti
melestarikan mereka di jalanan. Namun observasi peneliti di beberapa perempatan
jalan, terlihat bahwa masih banyak pengendara yang memberikan uang kepada anak
jalanan baik karena kasihan maupun alasan kemanusian lain.
Tindakan Represif
Sebagai institusi utama yang menangani
anak jalanan, Dinas Sosial Kota Surabaya bertanggung jawab untuk melakukan
tindakan-tindakan represif yaitu melalui operasi simpatik anak jalanan serta
penjagaan/penghalauan lokasi terkait. Kegiatan ini dilakukan dengan melakukan penertiban
(razia) terhadap anak jalanan, yang dilakukan bersamaan dengan operasi terhadap
para gelandangan dan pengemis (gepeng). Untuk melakukan penertiban ini Dinas
Sosial bekerjasama dengan Bakesbang Linmas dan Dispol PP. Berikut adalah
rekapitulasi hasil penertiban anak jalanan dari Januari sampai Agustus 2005.
Tabel 5. Rekapitulasi Razia
Januari – Agustus 2005
Bulan
|
Anak Jalanan
|
||
Warga Surabaya
|
Luar Kota
|
Jumlah
|
|
Januari
|
20
|
31
|
51
|
Pebruari
|
1
|
-
|
1
|
Maret
|
1
|
2
|
3
|
April
|
3
|
6
|
9
|
Mei
|
2
|
4
|
6
|
Juni
|
3
|
5
|
8
|
Juli
|
2
|
7
|
9
|
Agustus
|
2
|
3
|
5
|
Jumlah
|
34
|
58
|
92
|
Sumber: Dinas Sosial Kota Surabaya, 2005
Anak-anak jalanan yang
terjaring operasi simpatik, selanjutnya akan menjalani proses pra rehabilitasi,
yaitu diidentifikasi dan diseleksi untuk memperoleh pembinaan. Sayangnya, dalam
pelaksanaan penertiban banyak anak jalanan yang melarikan diri sementara yang tertangkap
sering menolak memperoleh pembinaan karena berlawanan dengan kehidupan mereka
yang sangat bebas serta orientasi mereka untuk mencari uang. Untuk mengoptimalkan
penanganan anak jalanan melalui upaya-upaya represif ini, maka selain melakukan
penertiban, seleksi dan identifikasi, Dinas Sosial juga memberikan stimulus,
serta melakukan upaya-upaya pembinaan dan rehabilitasi sosial. Stimulus/
rangsangan diberikan dengan memberikan sejumlah uang kepada anak jalanan yang
bersedia dibina.
Upaya pembinaan dilakukan untuk
memberikan penyadaran kepada mereka
tentang nilai-nilai/norma-norma keluarga/ masyarakat
serta membekali mereka dengan keterampilan-keterampilan seperti montir/perbengkelan,
menjahit, memasak dan lainnya. Namun, untuk upaya ini Dinas Sosial masih belum
mempunyai tempat dan
SDM untuk pembinaan khusus bagi anak jalanan. Upaya
rehabilitasi sosial yang dilakukan setelah upaya pembinaan merupakan upaya
pengembalian anak jalanan ke keluarga mereka. Diharapkan dengan bekal yang
mereka terima selama pembinaan, mereka dapat menjalani kehidupan secara normal.
Tindakan Pemberdayaan
Upaya pemberdayaan anak jalanan
dilakukan melalui program rumah singgah, yaitu dengan bekerja sama dengan rumah
singgah di Kota Surabaya yang berjumlah 15. Program rumah singgah merupakan upaya
penyediaan rumah bagi anak jalanan yang diharapkan menjadi wahana perantara
antara anak jalanan dengan pihak-pihak yang membantu mereka serta memberikan
intervensi yang tepat bagi mereka. Secara ideal rumah singgah diharapkan dapat
menjadi proses pembinaan informal yang memberikan suasana resosialisasi anak
jalanan terhadap sistem nilai dan norma yang berlaku dalam keluarga dan
masyarakat. Di rumah singgah mereka mendapat fasilitas kebutuhan hidup yang merupakan basic need
(makan, uang saku dll), dan sanitasi (alat-alat mandi) ataupun buku-buku pendidikan/keterampilan
(Wawancara dengan staf Dinas Sosial). Namun realitasnya tidak semua anak
jalanan yang tinggal di rumah singgah tersebut mendapat fasilitas yang
semestinya (Wawancara dengan staf LPA). Wawancara lebih lanjut dengan staf LPA,
terungkap bahwa untuk beberapa kasus, program rumah singgah kurang menarik bagi
anak jalanan. Hal ini karena tingkat mobilitas anak jalanan yang sangat tinggi
serta faktor budaya jalanan yang mengagungkan mitos ‘kebebasan’ yang kurang
bisa diakomodasi dalam rumah singgah yang memiliki misi menanamkan norma
keluarga dan masyarakat umum.
Untuk tahap rehabilitasi dan
resosialisasi yang merupakan kelanjutan dari upaya pemberdayaan anak jalanan di
Surabaya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Dinas Sosial masih
dihadapkan pada permasahan ketidaktersediaan tenaga ahli untuk melakukan
pembinaan dan pendidikan ketrampilan, di samping juga keterbatasan fasilitas
seperti tidak adanya panti rehabilitasi khusus anak. Sementara itu sebagai
salah satu upaya resosialisasi (lihat bagan), panti asuhan sebagai salah satu
alternatif rumah pengganti bagi anak jalanan malah semakin membuat anak jalanan
tidak bentah mengingat aturan-aturan yang cukup ketat (lebih ketat dari rumah
singgah), karenanya semakin berlawanan dengan kehidupan jalanan yang menekankan
kebebasan dan ketiadaan aturan-aturan formal.
|
B
Bagan 2. Model
Usaha Kesejahteraan Anak
Kebijakan berkenaan dengan Permasalahan Kesehatan dan
Pendidikan
Secara konseptual model usaha kesejahteraan
anak ideal seperti dalam bagan 2. Dari model tersebut, terlihat jelas bahwa
upaya-upaya yang dilakukan oleh Dinas sosial sebagaimana telah dijelaskan di
atas telah sesuai dengan model usaha kesejahteraan anak, yang terdiri dari
upaya asuhan, bantuan dan pelayanan khusus ini. Meski begitu, beberapa upaya
jelas tidak dapat tercakup dalam kerangka tindakan Dinas Sosial. Karena itulah
upaya penanganan anak jalanan juga melibatkan institusi-institusi terkait
lainnya, yang dalam penelitian ini diketahui adalah dinas kesehatan dan dinas
pendidikan. Hal ini, terutama juga mengingat bahwa permasalahan utama yang
dihadapi anak jalanan adalah permasalahan-permasalahan yang menyangkut aspek
sosial, pendidikan dan kesehatan mereka.
Dengan menjadi anak jalanan
maka secara fisik, mental maupun moral seorang anak menjadi terancam. Ancaman
fisik ini perlu penanganan yang komprehensif dari Dinas kesehatan, sementara
ancaman mental dan moral perlu peran aktif dinas pendidikan untuk membekali
mereka dengan pengetahuan/ketrampilan yang berguna bagi hidup mereka kelak.
Dengan menjadi anak jalanan,
anak menjadi terancam baik secara fisik maupun
non fisik, diakibatkan oleh buruknya tingkat kesehatan
tempat tinggal maupun lingkungan mereka atau dikarenakan adanya tindak
kekerasan seksual, intimidasi dari preman (bahkan juga aparat kepolisian) serta
tidak jarang kekerasan dari orang tua mereka sendiri. Beberapa permasalahan
kesehatan yang kerap diderita anak jalanan, diantaranya adalah: penyakit akibat
polusi udara, air maupun tanah, seperti mata merah, gatal-gatal, atau luka
akibat jatuh/tertabrak; gizi buruk, kebersihan diri, diare, Napsa
(Narkoba, Alkohol), Kesehatan produksi (PMS, Kehamilan
tidak diinginkan, pelecehan seksual, aborsi), ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan
Akut), serta belum adanya penanganan trauma terhadap kekerasan.
Dalam upaya penanganan dan perlindungan
anak jalanan, dinas kesehatan bertanggung jawab dalam pembinaan dan pelayanan
kesehatan untuk anak jalanan.
Secara umum, upaya pembinaan dan pelayanan kesehatan ini
ditujukan untuk meningkatkan status kesehatan anak jalanan di kota surabaya.
Untuk mendukung tujuan ini kebijakan operasional yang dilakukan meliputi: a) Pelayanan
kesehatan oleh puskesmas yang ditunjuk, b) Upaya-upaya promotif, preventif
terpadu dengan kuratif dan rehabilitatif, c) Peningkatan jangkauan pelayanan,
d) Pengembangan pelayanan
kesehatan anak jalanan, e) Peningkatan penyuluhan
kesehatan dan pemeriksaan umum. Namun, program pembinaan dan pelayanan
kesehatan untuk anak jalanan ini tidaklah terlepas dari permasalahan. Hal ini dikarenakan
program pelayanan kesehatan bagi anak jalanan ini belum merupakan program
prioritas, terbukti belum semua sektor berpartisipasi secara maksimal.
Disamping juga tidak ada dana khusus untuk pelayanan kesehatan anak jalanan
ini. Sementara di kalangan anak jalanan sendiri ada keengganan untuk
memanfaatkan program pelayanan kesehatan ini. Wawancara dengan staf LPA,
diketahui bahwa, hal ini disebabkan oleh adanya beban psiko-sosial dikalangan
anak jalanan untuk datang ke puskesmas, dikarenakan stigma yang melekat pada
diri mereka,
yaitu sebagai anak rendahan atau yang dianggap sebagai
penyakit masyarakat. Sementara untuk upaya pemeriksaan kesehatan di rumah
singgah seringkali penghuni tidak tepat hadir.
Kebijakan Berkenaan dengan Permasalahan Pendidikan: Program lelang anak asuh
Permasalahan utama berkenaan dengan
pendidikan di kalangan anak jalanan adalah pendidikan yang rendah, ketrampilan
yang terbatas, drop out dari sekolah baik sekolah dasar maupun sekolah lanjutan
(SD/SLTP) atau bahkan tidak pernah sekolah. Intervensi kebijakan/program untuk
menangani permasalahan pendidikan di kalangan anak jalanan melibatkan tidak
hanya pemerintah namun juga LSM dan stakeholder lain. Intervensi ini dapat
dikategorikan menjadi dua yaitu intervensi berkaitan dengan pendidikan informal
(pelatihan ketrampilan, pendampingan melalui Dinas Sosial, pemberian beasiswa,
atau kelompok belajar (Kejar Paket), dan pendidikan formal yang salah satunya
melalui program lelang anak asuh di Dinas Pendidikan.
Program lelang anak asuh
bermaksud untuk menjembatani kebutuhan anak
miskin agar bisa melanjutkan pendidikannya, dengan warga
kota yang peduli terhadap nasib mereka, namun warga tersebut tidak tahu harus
kemana untuk membantu mereka. Dengan program ini sebuah lembaga fasilitator
yang ditunjuk, seperti Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Surabaya, melakukan perencanaan
tentang arah pendidikan anak miskin, kebutuhan serta pengembangan kepribadian
anak-anak tersebut. Hasil perencanaan ini berupa data-data tentang anak,
kebutuhan pendidikan, keluarga serta tingkat pendidikan si anak, yang tersedia
dan kemudian disajikan ke masyarakat. Data-data inilah yang kemudian di “LELANG”
agar “TERBELI” oleh masyarakat sebagai
sebuah pembiayaan pendidikan dari masyarakat kepada anak-anak
miskin tersebut. Dengan sajian data tersebut, diharapkan masyarakat bisa
mendapatkan gambaran tentang anak dan pembiayaannya untuk disesuaikan dengan kemampuannya.
Dalam implementasinya di
lapangan, program yang relatif baru ini masih menimbulkan banyak perdebatan, khususnya
berkenaan dengan pemilihan istilah ”LELANG” dan ”TERBELI” yang mengkonotasikan
anak sebagai barang dagangan. Meskipun kita tidak bisa memungkiri itikad baik
dari program tersebut. Selain itu perlu ditekankan bahwa program ini tidak
dikhususkan bagi anak jalanan melainkan anak miskin secara umum di Surabaya.
Sebagai perbandingan pada tahun 2003, jumlah kepala keluarga (KK) miskin di
Surabaya adalah 90.084 dengan total penduduk miskin 323.789 jiwa. Dari jumlah
ini 68.834 adalah anak miskin usia 7 – 18 tahun (data diolah dari Bappeko dan
BKKBN Surabaya, 2003). Dengan jumlah anak miskin sebesar itu,
maka untuk tahun yang sama 2310 anak jalanan di Surabaya
harus bersaing dengan
anak miskin yang jumlahnya cukup besar tersebut untuk
menjadi anak asuh dalam
program lelang asuh ini. Kesempatan yang relatif kecil
ini (2310:68.834 atau kira-kira 1
anak jalanan: 30 anak miskin lain) diperparah dengan
stigma yang seringkali melekat pada anak jalanan.
Kebijakan penanganan anak jalanan yang ditujukan kepada
Orang tua
Bagan 3. Tanggungjawab Kesejahteraan Anak
Kebijakan anak jalanan yang
ditujukan kepada orang tua ini berangkat dari suatu kerangka pemikiran dan
realitas bahwa kesejahteraan anak, yang utama menjadi tanggung jawab orang tua,
sementara pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab untuk mendukung/membantu.
Selain itu anak yang bekerja di jalanan (children on the street) yang
menjadi fokus penelitian ini, kebanyakan masih mempunyai kontak dengan orang
tua mereka. Karena anak-anak ini lebih beresiko untuk dieskploitasi secara ekonomi
baik oleh orang tua maupun oleh pihak lain, serta bahwa mereka sering tidak
mendapat pengasuhan yang layak dari orang tua mereka
(karena hubungan keluarga seringkali telah diubah menjadi hubungan kerja,
dimana anak diperlakukan seperti buruh dan orang tua adalah majikan), maka
sudah sepatutnya jika upaya penanganan anak jalanan berfokus (bersasaran) tidak
hanya pada anak jalanan tetapi juga perlu ditujukan kepada para orang tua yang
anaknya menjadi anak jalanan.
Wawancara dengan staf LPA
diketahui bahwa dari proses pendampingan yang
mereka lakukan, mata pencaharian orang tua anak jalanan
kebanyakan adalah menjadi buruh, tukang becak, gepeng, penjahat, PSK, Pemulung,
pengangguran serta kuli bangunan dengan pendapatan kurang dari Rp. 100.000,-.
Karena itulah tidak heran jika kemiskinanlah yang menjadi alasan utama anak
turun kejalanan (penelitian ini menemukan faktor penyebab anak jalanan di Surabaya
80% adalah gakin (keluarga miskin)).
Namun begitu penelitian ini menemukan
bahwa upaya penanganan anak jalanan yang ditujukan kepada orang tua anak
jalanan di Kota Surabaya masih belum optimal. Satu-satunya upaya yang telah
dilakukan oleh Dinas Sosial bekerja sama dengan beberapa LSM, termasuk LPA adalah
pemberian bantuan modal usaha bagi orang tua anak jalanan, itupun hanya merupakan
program yang bersifat insidental. Selain itu program ini sering mengalami
kegagalan karena tidak ada mekanisme kontrol dan kontak yang jelas antara Dinas
Sosial dan LSM dengan para orang tua anak jalanan tersebut. Upaya penanganan
anak jalanan yang ditujukan untuk orang tua anak jalanan selama ini juga lebih
banyak difokuskan pada penanganan orang tua anak jalanan yang
menjadi gelandangan dan pengemis (gepeng). Beberapa
kegiatan yang dilakukan Dinas Sosial untuk menangani gepeng ini diantaranya
adalah razia, identifikasi, bimbingan sosial, mental dan spiritual, seleksi,
serta bimbingan ketrampilan. Saat penelitian ini dilakukan, pada tahun 2005 ini
Dinas Sosial telah memberikan bimbingan-bimbingan ketrampilan, diantaranya
pertukangan kepada 20 orang, penjahitan sebanyak 20 orang serta pembinaan usaha
kecil seperti pedagang bakso, pembuatan getuk, rempeyek dan
lain-lain. Singkatnya kebijakan penanganan anak jalanan
yang ditujukan kepada orang
tua anak jalanan belum diimplementasikan sesuai
formulasinya.
Hasil penelitian
Data primer maupun sekunder
dalam penelitian ini menemukan bahwa selama ini kebijakan penanganan anak jalanan
di Kota Surabaya sudah berjalan, tetapi tidak dapat menjangkau semua anak
jalanan di Surabaya. Program-program kebijakan seperti telah diuraikan diatas
tidak bisa mengcover permasalahan anak jalanan, yang pada tahun 2003
berjumlah 2.310 anak. Informan dari LPA menyatakan bahwa belum ada 1000 anak
jalanan yang tertangani. Realitas yang ada adalah terdapat beberapa program
yang salah sasaran, program fiktif, tidak berkelanjutan, anak jalanan justru
semakin bertambah, kurang terkoordinasi dengan baik, serta tidak semua dinas
yang seharusnya
berperan memiliki program untuk anak jalanan. Berkaitan
dengan ketersediaan data, penelitian ini menemukan bahwa faktor pendukung
maupun penghambat kebijakan penanganan anak jalanan adalah: 1) Data belum
memadai, dimana terdapat perbedaan data tentang jumlah, sebaran dan daerah asal
anak jalanan atau singkatnya tidak ada data base anak jalanan yang
akurat; 2) Telah ada perundangan terkait dengan pendidikan, kesejahteraan, dan
perlindungan anak jalanan, namun penegakannya belum efektif, serta belum tersosialisasikan
dengan baik. Kalaupun ditegakkan, penegak hukum tidak punya perspektif tentang
hak anak. Belum ada Perda yang memihak hak-hak anak (Perda Perlindungan Anak),
meski LSM-LSM sedang berupaya, namun belum ada respon menggembirakan dari
Pemkot Surabaya; 4) Pemkot belum mengalokasikan anggaran sesuai dengan amanat
undang-undang, dampak dari pembangunan yang belum
memihak pada orang miskin (pro poor development).
Berdasarkan analisis antara
fakta dan permasalahan yang ada dengan kerangka
teori tentang efektivitas kebijakan pada tinjauan pustaka
maka kebijakan maupun program penanggulangan anak jalanan di Kota Surabaya
masih belum efektif. Keefektifan merupakan perbandingan antara hasil yang
terlaksana secara nyata dengan hasil yang direncanakan. Yaitu suatu kebijakan /
program dikatakan berhasil atau efektif bila dapat mencapai tujuannya. Hasil
penelitian ini menemukan bahwa implementasi kebijakan penanganan anak jalanan
di Kota Surabaya masih belum mencapai tujuan/hasil yang di rencanakan. Hal ini
secara jelas terlihat dari kesenjangan antara apa yang diformulasikan dengan kenyataan
yang terjadi di lapangan (Bagan 1). Selain itu, penanganan anak jalanan pada
umumnya belum mempunyai model/pendekatan yang tepat dan efektif. Pembinaan dan
pemberdayaan pada lingkungan keluarga tempat anak jalanan tinggal, misalnya,
belum banyak dilakukan, sehingga penanganannya selama ini cenderung “tambal
sulam” dan tidak efektif. Hal ini sangat disayangkan mengingat keluarga adalah ‘pusat
pendidikan, pembinaan dan pemberdayaan pertama’ yang memungkinkan anak tumbuh
dan berkembang dengan baik, sehat dan cerdas.
Dalam bagan 1, seharusnya penanganan
anak jalanan meliputi upaya-upaya
komprehensif mulai dari tindakan preventif hingga
pembinaan lanjutan melalui monitoring dan evaluasi baik yang ditujukan bagi
anak jalanan maupun orang tua, ternyata dalam implementasinya institusi-institusi
yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan penanganan anak jalanan, khususnya
Dinas Sosial hanya melakukan tindakan penanganan yang meliputi tiga tahapan
tindakan, yaitu preventif, represif dan pemberdayaan. Sementara itu,
program-program yang dilakukan Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan juga
menghadapi kendala disana-sini, sehingga mengancam efektivitas program.
Secara khusus, penilaian
efektivitas kebijakan penanganan anak jalanan ini dibahas berdasarkan tujuh
indikator efektivitas kebijakan sesuai uraian dalam tinjauan pustaka, yaitu:
(1) Kejelasan tujuan yang hendak dicapai: Tidak ada kejelasan tujuan yang
hendak dicapai oleh institusi-institusi yang bertanggung jawab dalam penangananan
anak jalanan. Program-program yang dilaksanakan tidak khusus ditujukan untuk
penanganan anak jalanan. Program di Dinas Sosial, misalnya, dilakukan bersamaan
dengan penanganan gelandangan dan pengemis (gepeng), sementara program di Dinas
Pendidikan ditujukan untuk semua anak miskin dimana 1 anak jalanan harus
bersaing dengan 30 anak miskin lainnya untuk menjadi seorang anak
asuh/memperoleh bantuan pendidikan; (2) Kejelasan strategi pencapaian tujuan:
Belum terlihat adanya upaya-upaya yang bersifat komprehensif yang didukung oleh
semua sektor yang seharusnya terlibat dalam penanganan anak jalanan. Terlihat
bahwa implementasi program terkesan asal jalan; (3) Perencanaan yang matang:
Perencanaan
kurang matang bisa dilihat dari kurang tersedianya data
base yang akurat tentang anak jalanan, karenanya aparat pelaksana tidak
dapat memprediksi atau memperhitungkan keadaan sasaran; (4) Penyusunan program
yang tepat: Meski di tingkat formulasi, program penanganan anak jalanan
terlihat komprehensif, namun dalam tataran implementasi program tersebut kurang
efektif. Diantaranya, untuk alasan efisiensi, maka program di Dinas Sosial
dilakukan bersamaan dengan program penanganan gepeng. Sementara beberapa
program menghadapi permasalahan salah sasaran, program fiktif, tidak
berkelanjutan, program kurang terkoordinasi, sehingga anak jalanan justru
semakin bertambah; (5) Tersedianya sarana dan prasarana
kerja: Kurangnya sarana dan
prasarana terlihat dari tidak tersedianya pusat
rehabilitasi khusus anak sehingga upaya pembinaan dilakukan di pondok sosial
yang sebenarnya adalah untuk pembinaan gepeng. Untuk upaya pemberdayaan anak
jalanan harus dititipkan dalam rumah singgah yang ternyata juga masih belum
efektif karena kurang menarik bagi anak jalanan karena
bertentangan dengan prinsip kebebasan yang mereka anut;
(6) Sistem pengawasan dan pengendalian: Mekanisme pengawasan dan pengendalian
terhadap program melalui proses monitoring dan evaluasi selama ini belum
dilakukan; dan (7) Pelaksanaan tugas secara efektif dan efisien: Selama ini
program belum bisa mengcover sebagian besar anak jalanan. Penanganan anak
jalanan melalui operasi simpatik yang dilaksanakan bersamaan dengan penertiban gepeng
meski efisien adalah tidak efektif, karena fokus terhadap anak jalanan menjadi
berkurang. Tidak heran jika secara kuantitas, jumlah anak jalanan dari tahun ke
tahun cenderung naik.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Kesimpulan
Penelitian ini menyimpulkan: Pertama,
kebijakan penanganan anak jalanan di Kota Surabaya melibatkan beberapa instansi
terkait yaitu, Dinas Sosial, Dinas Polisi
Pamong Praja (Dispol PP), Badan Kesatuan Bangsa dan
Perlindungan Masyarakat (Bakesbang Linmas), Polisi Wilayah Kota Besar
(Polwiltabes), Dinas Kesehatan, Dinas
Pendidikan, Rumah sakit jiwa serta Kecamatan dan
Kelurahan. Dalam implementasinya, institusi-institusi ini melibatkan
stakeholder lain, diantaranya LSM (misalnya LPA, Save the Children), termasuk
rumah singgah atau institusi pendidikan seperti Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat Universitas Airlangga. Namun, tidak semua instansi yang seharusnya
berperan memiliki program penanganan anak jalanan, melainkan hanya Dinas
Sosial, Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan. Sedang
instansi lain hanya mendukung bahkan kurang aktif.
Kedua, kebijakan / program penanganan anak jalanan di Surabaya
sudah berjalan, namun tidak dapat menjangkau semua anak jalanan di Surabaya
(belum ada 1000 anak jalanan yang tertangani dari total 2.310 anak jalanan di
Surabaya pada tahun 2003).
Dari segi implementasinya,
program tersebut masih belum efektif karena belum mampu mencapai target/tujuan
yang telah ditetapkan dalam formulasinya. Ditambah dengan adanya realitas seperti
program salah sasaran, karena tidak dilaksanakan secara khusus untuk anak
jalanan; program tidak berkelanjutan serta kurang terkoordinasi. Semua ini
menyebabkan terjadinya kecenderungan peningkatan anak jalanan dari tahun ke
tahun.
Ketiga, faktor pendukung dan penghambat kebijakan penanganan
anak jalanan adalah belum tersedianya data base anak jalanan yang
akurat, yang memberikan informasi tentang jumlah, sebaran mapun daerah asal
anak jalanan sehingga upaya penanganannya menjadi lebih komprehensif. Selain
itu, meski telah ada perundangan yang terkait dengan pendidikan, kesejahteraan,
perlindungan dan kekerasan anak jalanan (UU no 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak), penegakannya belum efektif, serta belum tersosialisasikan
dengan baik. Jikapun ditegakkan, penegak hukum tidak punya perspektif tentang
hak anak serta belum ada Perda yang memihak pada hak-hak
anak (Perda Perlindungan Anak), meski para LSM tengah
berupaya, tampak belum
ada respon menggembirakan dari Pemkot Surabaya.
Keempat, kebijakan penanganan anak jalanan belum didukung oleh
sumber daya
yang memadai, baik fasilitas, SDM maupun sumber pendanan.
Realitanya Pemkot belum cukup mengalokasikan anggaran sesuai dengan amanat UU,
menunjukkan dampak pembangunan yang belum memihak si miskin (pro poor
development).
Saran
Pemkot Surabaya harus mulai
mengagendakan formulasi perda perlindungan
anak sebagai salah satu skala prioritas (kemudian
menegakkannya). Perda ini akan menjamin upaya pelaksanaan perlindungan anak,
termasuk anak jalanan di tingkat daerah.
Pemkot Surabaya melalui
instansiinstansi terkaitnya harus membuat program-program yang benar-benar dikhususkan
untuk penanganan/ perlindungan anak jalanan, didukung dengan pengalokasian
sumber daya baik SDM, dana dan fasilitas-fasilitas yang memadai.
Agar instansi-instansi terkait
lebih intensif dalam melakukan operasi penertiban, pembinaan serta pemberdayaan
anak jalanan, terutama dari segi ekonomi, pendidikan dan agamanya, didukung dengan
koordinasi antar sektoral, dan kerjasama yang baik dengan LSM-LSM maupun
intitusi pendidikan formal/ informal.
Perlu penekanan bahwa
pemberdayaan anak jalanan harus dilakukan bersamaan dengan pemberdayan keluarga
mereka. Mengingat masyarakat dan negara yang sehat, kuat, cerdas, dan
berkualitas tumbuh dan berkembang dari dan dalam lingkungan keluarga yang
sehat, kuat, cerdas dan berkualitas. Dengan demikian, masalah anak termasuk
anak jalanan perlu penanganan yang meliputi pula basis keluarga mengingat
keluarga adalah penanggung jawab pertama dan utama masa depan anak-anak.
DAFTAR
PUSTAKA
Hindman, Hugh D., 2002. Child Labour as a social and
economic problems, in Child
labour
an American Hystory, ME Sharpe, Armonk, New York, London, England, Ch 1.
ILO, 1999. Child Labour, Report IV (2A) 87th Session,
Geneva: ILO.
Jette, Natalie, Jakarta street kids abused and neglected,
Jakarta Post, July 27, 2002.
Parker, David. 2002. Street Children and Child Labour
around the World, The Lancet.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, 2003. Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI dan
Departemen Sosial RI.
Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003, dari
(http.//www.dprin.go.id/regulasi/2003/03/UU_13_03.pdf).
Unicef. 2003. Pengertian Konvensi Hak Anak, Bandung:
PT Enka Parahiyangan.
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN JURNAL
Kelebihan
-
Jurnal ini menyajikan data yang lengkap, yaitu terkait dengan
peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
-
Objek atau sampel yang diteliti sudah tepat.
-
Pengambilan data cukup jelas. Yaitu tidak hanya dari data dinas
setempat saja, melainkan dari hasil wawancara yang dilakukan di lapangan.
-
Penelitian sudah sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
-
Penelitian yang dilakukan dalam jurnal ini penting.
-
Hasil dari penelitian dalam jurnal ini bisa dilakukan untuk daerah
lainnya.
Kekurangan
-
Jurnal ini tidak melampirkan tanggal dengan jelas.
-
Terdapat daftar pustaka yang tidak dicantumkan dalam setiap paragraf.
-
Teknik penulisan dalam jurnal tidak menggunakan jenis huruf yang formal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar