Selasa, 27 Desember 2016

makalah sosiologi kesehatan

Nama   : Mairina Yulistiani
NIM    : I1A015097
Kelas   : A
Kesehatan Masyarakat


BAB 1
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pada zaman yang semakin modern ini,pola pikir masyarakat sudah sangat berkembang dengan cepat. Hal itu bisa dilihat dari anak-anak mereka yang melanjutkan pendidikannya kejenjang yang lebih tinggi lagi. Terutama bagi mereka yang notabene adalah ‘orang punya’. Namun,tidak jarang juga ‘orang biasa’ pun ada yang melanjutkan sampai kejenjang yang lebih tinggi tersebut. Pendidikan adalah hak setiap bangsa. Itulah menurut mereka. Tetapi,masih ada saja yang merasa kalau itu semua hanya berlaku untuk mereka yang ‘punya’.

Ketika mereka sakitpun,mereka lebih memilih untuk berobat ke dukun desa setempat atau hanya meminta air kepada pak kiyai yang mereka anggap bisa menyembuhkan. Bahkan ketika sakit sudah parah pun mereka lebih memilih untuk berobat ke puskesmas atau bidan. Mereka merasa tidak pantas untuk berobat ke rumah sakit terutama dengan biaya yang cukup mahal sekalipun mereka sudah memiliki BPJS. Mereka baru mau di bawa kerumah sakit bila ada kerabat,atau tetangga yang mereka anggap mengerti tentang penyakit tersebut.

B.     DATA
Di tempat saya,Desa Bulak,Cirebon,anak-anak yang bisa melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi masih di dominasi oleh orang tua mereka yang ber’punya’. Selebihnya memilih untuk bekerja atau bahkan menikah.

Tidak banyak pula kasus kematian karena terlambat di bawa ke rumah sakit. Atau harus kehilangan salah satu anggota tubuhnya karena telat mendapat penanganan dokter. Ketika mereka measa tidak mampu untuk beraktifitas lagi,mereka lebih memilih untuk memeriksakannya kepada bisan terdekat padahal bidan merekomendasikan untuk dibawa ke rumah sakit supaya mendapat pertolongan yang lebih cepat. Saat ada yang melahirkan pun mereka memilih memanggil atau sekedar memeriksakan kandungannya ke dukun desa. Padahal kita tidak tahu apakah kondisi janin di dalamnya baik-baik saja atau tidak.


C.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi?
2.      Kenapa lebih di dominasi oleh ‘orang punya’?
3.      Kenapa mereka memilih menikah?
4.      Apa alasan bagi mereka yang memilih bekerja?
5.      Kenapa mereka lebih memilih dukun desa atau meminta air kepada pak kiyai?
6.      Bagaimana cara mengubah pola pikir masyarakat tersebut?


BAB 2
PEMBAHASAN

Banyaknya anak-anak yang bisa melanjutkan kejenjang perkuliahan tidak lain dari pengaruh stratifikasi sosial masyarakat sekitar. Yang dimana menurut mereka hanya orang-orang dari kalangan berpunyalah yang pantas untuk bisa melanjutkan sampai ke jenjang tersebut. Pola pikir tersebut mereka tekankan kepada anak-anak mereka dan pada akhirnya membuat anak-anak tersebut merasa minder dan memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan. Padahal rata-rata dari mereka memiliki kemampuan yang mampu dan bila diasah mereka pun bisa bersaing dengan yang lain. Hal ini sesuai dengan teori Karl Max yang menyatakan bahwa orang-orang kaya menguasai semua bidang,sedangkan orang-orang miskin dikuasai oleh orang-orang kaya.

Mereka yang merasa berpunya tidak sungkan-sungkan untuk bisa melanjutkan pendidikan anak-anaknya bahkan sampai ke luar negeri sekalipun. Karena bagi mereka pendidikan adalah yang utama dibanding apapun. Bila perlu,kalau nanti bisa berjodoh harus dengan orang kaya juga agar hidup mereka bisa makmur. Tentu hal ini sangat bertolak belakang. Karena bagaimanapun orang-orang miskin juga berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Hanya saya mereka sudah terlalu ‘manut’ dengan teori bahwa hanya orang-orang kaya lah yang bisa mendapatkan segalanya.

Hal ini pula lah yang membuat mereka tidak jarang untuk menikahkan anak mereka. Selain karena keinginan anak-anak mereka sendiri,juga terkadang mereka dijodohkan dengan anak dari orang yang stratifikasinya sedikit tinggi dari mereka. Lalu kalau sudah begini,siapa yang bisa menolak? Terutama mereka yang perempuan,yang menurut ibu mereka pada akhirnya perempuan hanya akan tinggal di dapur,sumur,dan kasur. Lalu bagi laki-laki menikah bukannya sesuatu yang harus terburu-buru. Mereka yang tidak bisa melanjutkan pendidikan,biasanya memilih untuk bekerja ke Ibukota. Dengan harapan setelah nanti sukses mereka akan menikah.  Masih sama alasannya,karena stratifikasi sosial. Atau bahkan mereka sudah mencoba untuk daftar ke perguruan negeri,namun hasilnya nihil. Mereka merasa putus asa dan akhirnya memilih untuk bekerja.

Stratifikasi sosial yang mereka terapkan ini berdampak buruk pada keturunan mereka kelak. Pada akhirnya anak cucu mereka nanti akan selalu merasa minder dan tidak mampu melakukan apapun yang sebenarnya mereka mampu untuk melakukannya.  Stratifikasi sosial ini pula berdampak pada perbedaan gaya hidup sesuai pendapat Max Weber yang menyebutkan A Specific Stlye Of Life. Perbedaan gaya hidup ini akan jelas terlihat mana kala ketika mengantarkan anak-anak mereka ke sekolah. Mereka yang orang-orang kaya akan mengenakan baju bagus,serta perhiasan yang bisa mengundang perhatian. Bukan hanya itu,uang jajan untuk anaknya pun akan lebih besar dari yang lainnya. Sedangkan mereka yang orang-orang miskin,ketika mengantarkan anaknya kesekolah,mereka hanya berpenampilan ala kadarnya,serta tidak menggunakan perhiasan yang bisa saja akan mengundang bahaya untuk dirinya sendiri.

Selain itu dampak stratifikasi yang lain menurut Peter L. Berger adalah Symbol Status. Symbol status ini akan sangat melekat mana kala orang tersebut sudah mendapat gelar. Misalnya seorang dokter. Orang-orang miskin tentunya akan sangat menghormati orang tersebut. Menurut mereka,dokter itu adalah orang yang harus mereka segani. Sehingga batas stratifikasi sosial jelas terlihat untuk hal ini.

Puskesmas,rumah sakit adalah hal yang perlu kita sosialisasikan kepada mereka. Karena mereka masih menganggap dukun desa,serta pak kiyai bisa menyembuhkan segalanya. Contohnya,ada orang yang terkena infeksi dikakinya lalu menurut kerabatnya untuk meminta air kepada pak kiyai tersebut. Karena menurut mereka itu adalah santet. Lalu,setelah semakin parah mereka pun memberikan ramuan-ramuan yang mereka buat sendiri yang belum tentu bisa menyembuhkan. Barulah setelah semakin parah,dan disarankan oleh orang yang mereka hormati,mereka mau membawa anggota keluarga mereka tersebut ke rumah sakit. Dan setelah diperiksa oleh dokter,pasien harus di amputasi karena sudah menyebar kemana-mana dan akan membahayakan bila tidak segera di tindak lanjuti.

Inilah yang terjadi  karena mereka menggap dokter dan rumah sakit hanya untuk orang-orang kaya. Yang dimana,mereka merasa tidak mampu bila harus menyaingi orang-orang kaya tersebut. Mereka memilih ke dukun atau meminta air pak kiyai karena menurut mereka hal tersebut adalah penanganan pertama. Dan bila tidak ada reaksi yang berkelanjutan,mereka akan mengulanginya lagi saat terjadi hal yang sama. Mereka menganggap dukun desa adalah dokternya mereka. Selain murah,juga bisa terjangkau. Bahkan mereka hanya perlu membayar dengan beberapa liter beras dan uang yang ala kadarnya.


BAB 3
PENUTUP

Kita tentu ingin mereka mengubah pola pikir tersebut bukan? Lantas apa yang bisa kita lakukan? Sosialisasi? Tidak cukup hanya sosialisasi. Pemikiran tersebut sudah melekat erat di ingatan mereka. Pendekatan lebih dekat seperti mengajak mereka berobat ke rumah sakit langsung ketika sakit dan memberitahu bahwa rumah sakit bukan hanya untuk orang-orang kaya saja,tetapi mereka pun layak mendapatkan fasilitas rumah sakit tersebut. Atau kita bisa melakukannya dengan mengajak dokter yang bertugas di puskesmas tersebut untuk mengunjungi rumah-rumah warga yang memang membutuhkan pertolongan medis. Serta memberi pandangan kepada ibu-ibu hamil tentang bahayanya bila terjadi sesuatu dengan kandungannya yang hanya diurut atau diperiksakan ke dukun desa. Mungkin cara itulah yang dapat sedikit merubah pola pikir masyarakat setempat. Memang susah untuk merubahnya secara total karena hal tersebut sudah melekat dan apabila tidak ada keinginan sendiri untuk merubahnya. Apalagi di era jaman yang sudah semakin modern ini. Sudah seharusnya kita sebagai agen preventif untuk turun langsung dan melakukan perubahan kepada masyarakat-masyarakat yang masih buta akan pentingnya kesehatan dan terbutakan pula oleh konsep stratifikasi mereka yang menganggap semuanya ada batasnya.

Stratifikasi sosial dikalangan masyarakat saat ini harus kita hapuskan. Karena,bagaimana mereka bisa maju bila masih ada perbedaan yang membuat mereka merasa tidak mampu. Bagaimana mereka bisa menunjukan kelebihannya bila mereka masih merasa hanya orang-orang kaya lah yang berhak mendapatkannya. Dan menurut mereka juga hanya orang-orang kaya lah yang berhak menggunakan puskesmas atau rumah sakit. Munculnya stratifikasi sosial ini karena adanya perbedaan atau penilaian seseorang yang menduduki status tertentu.
  
DAFTAR PUSTAKA


Sudarma,Momon. 2012.  Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar